Bagaimana Cara Auditor Memeriksa Aspek Going Concern Perusahaan?



Auditor TIDAK WAJIB untuk memprediksi kondisi masa depan perusahaan terperiksa (auditee.) Namun belakangan, dalam proses audit, auditor diharapkan untuk mempertimbangkan kemampuan perusahaan dalam menjaga kelangsungan hidupnya (continue to going concern), minimal untuk satu tahun buku ke depan. Bagaimana cara auditor memeriksa aspek going concern perusahaan?

Itulah yang akan JAK bahas melalui artikel sederhana ini. Namun sebelum masuk ke topik utama, mari kita lihat bagaimana peranan going concern di dalam perusahaan terlebih dahulu.
(Precaution: Artikel ini tergolong panjang dan rinci, thus mungkin mengkonsumsi waktu yang banyak untuk membaca dan memahami isinya. Untuk itu JAK bagi menjadi beberapa sub-judul agar lebih mudah dibaca. Anjuran: sebaiknya dibaca di rumah saat ada waktu luang).

Pentingnya Asumsi Going Concern Dalam Akuntansi

Going Concern,” dalam akuntansi, adalah sebuah ASUMSI (sekalilagi sebuah asumsi) yang menganggap bahwa perusahaan akan beroperasi dalam jangka panjang. Dan sebagian besar perlakuan akuntansi—mulai dari pengukuran hingga pengungkapannya—menggunakan asumsi ini.
“Aset Tetap” misalnya, awalnya diakui sebesar harga perolehan (cost) untuk kemudian di alokasikan sebagai beban/biaya—melalui penyusutan atau amortisasi secara bertahap—selama umur manfaatnya (=umur ekonomisnya). Hal ini karena adanya matching concept dimana perusahaan diasumsikan akan beroperasi dalam jangka panjang—Going Concern—minimal selama usia manfaat aset.
Pengeluaran-pengeluaran besar sehubungan dengan aset, sebagai contoh berikutnya, dikapitalisasi ke aset terkait. Hal ini, juga dengan asumsi bahwa perusahaan akan beroperasi dalam jangka panjang (Going Concern). Andai tidak menggunakan asumsi Going Cocern, mestinya, berapa besarpun pengeluaran yang timbul langsung dibebankan (expensed) pada saat terjadi.
Asumsi yang sama juga digunakan ketika perusahaan mengakui “Biaya Dibayar Dimuka” atau “Pendapatan Diterima Dimuka.”
Andai tidak menggunakan asumsi ‘Going Concern’ maka tidak akan pernah ada pengalokasian beban secara bertahap (penyusutan/amortisasi). Pengakuan pendapatan secara bertahap juga takkan pernah terjadi.
Pengelompokan ‘Aset Lancar – Tak lancar’ dan ‘Utang Jangka Pendek – Jangka Panjang’ pada Laporan Posisi Keuangan (=Neraca) juga tak pernah ada jika asumsi Going Concern tak digunakan. Bahkan, periodesasi pelaporan keuangan juga menjadi tak diperlukan lagi, dan yang namanya ‘matching-concept’ otomatis menjadi tak ada.
Persoalannya, yang namanya ASUMSI tetap saja asumsi yang—pada titik tertentu—bisa jadi tidak mewakili kondisi sebenarnya. Termasuk asumsi going concern yang digunakan dalam akuntansi. Ada kalanya, pada titik tertentu, perusahaan tidak mampu lagi menjaga kelangsungan hidupanya.
Sekarang bayangkan; apa yang terjadi ketika Laporan Keuangan yang disajikan menggunakan asumsi going concern padahal pada kenyataannya perusahaan tidak mampu lagi meneruskan operasionalnya dalam jangka panjang alias tidak sungguh-sungguh going concern?
Itu artinya, asumsi going concern yang digunakan untuk menyusun laporan keuangan sudah tidak valid lagi; tidak mewakili kondisi perusahaan yang sebenarnya, meskipun angka-angkanya akurat dan perlakuannya telah sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Sehingga, semua isi laporan keuangan yang disajikan menjadi TIDAK MASUK AKAL lagi! Tidak valid!
Itu sebabnya, perlu ditekankan bahwa Laporan Keuangan disajikan dengan asumsi perusahaan mampu beroperasi dlm jangka panjang (going concern).
Selanjutnya, kita lihat peranan penting asumsi going concern bagi pengguna Laporan Keuangan.

Pentingnya Status Going Concern Bagi Pengguna Laporan Keuangan

Bagi pengguna eksternal, utamanya investor dan kreditur, Laporan Keuangan (yang disusun menggunakan asumsi Going Concern oleh manajemen perusahaan) merupakan sumber informasi utama untuk mengambil keputusan-keputusan penting:
  • Investor menginvestasikan uangnya dengan cara membeli saham perusahaan dan bersedia dikembalikan dalam bentuk dividend yang nilai Rupiahnya jauh lebih kecil dibandingkan total Rupiah yang diinvestasikan, karena berharap akan memperoleh dividend dalam jangka panjang.
  • Lembaga keuangan seperti bank mengucurkan kredit bagi perusahaan dan bersedia dikembalikan secara bertahap, juga dengan asumsi bahwa perusahaan mampu beroperasi dalam jangka panjang.
Bayangkan nasib investor dan kreditur bila ternyata perusahaan tidak mampu untuk going concern? Mereka akan merugi!
Sebelum memutuskan untuk berinvestasi, investor butuh informasi apakah investee mampu going concern ke depannya atau tidak. Lembaga keuangan juga butuh informasi yang sama sebelum memberikan kredit.
Lalu, darimana investor dan kreditur memperoleh informasi mengenai kepastian status going concern perusahaan?

Sedikit Mengenai Teori Keagenan dan Audit

Pihak eksternal bisa mmperoleh informasi mengenai kemampuan going concern perusahaan dari laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Dengan bantuan para analyst, investor dan kreditur bisa melakukan penilaian terhadap prospek investasi dari berbagai aspek, termasuk aspek kemampuan going concern.
Pertanyaannya: Apakah laporan keuangan yg disajikan oleh manajemen akurat, tidak mengandung material misstatement dan tidak manipulatif?
Teori keagenan (agency theory), singkatnya, menyarankan: jangan percaya begitu saja terhadap asersi (laporan keuangan yang disajikan) manajemen!
Lebih rinci dalam teori keagenan disebutkan bahwa, “prinsipal” (=pemegang saham) sebagai pemilik perusahaan memberikan mandat kepada “agen” (=jajaran manajemen) untuk menajalankan operasional perusahaan sehari-hari. Dengan harapan akan terjadi kontrak yang efisien diantara mereka.
Jensen dan Meckling, 1976 silam, mendefinisikan hubungan keagenan sebagai…
“…suatu kontrak dimana satu orang atau lebih [principal] meminta pihak lainnya [agen] untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan atas nama prinsipal yang melibatkan pendelegasian beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen.”
Ada dua asumsi dasar yang harus dipenuhi dalam hubungan keagenan agar menghasilkan suatu kontrak yang efisien diantara principal dan agen, yaitu:
  • Simetri informasi; dan
  • Imbalan pasti bagi agen.
Namun, pada kenyataannya agen sebagai pengelola perusahaan selalu memiliki akses informasi yang lebih luas—thus memiliki lebih banyak informasi mengenai kondisi perusahaan—jika dibandingkan dengan prinsipal. Kondisi seperti ini—yang disebut “asimetri informasi”—adalah kondisi yang tidak ideal dilihat dari kepentingan prinsipal.
Oleh karena itu, sebagai pengelola perusahaan para manajer berkewajiban untuk memberikan informasi mengenai kondisi perusahaan melalui penyajian Laporan Keuangan beserta Catatan dan Penjelasannya.
Penyampaian informasi melalui laporan keuangan tersebut perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi pihak-pihak internal dan eksternal perusahaan yang tidak memiliki akses langsung ke dalam data keuangan.
Namun, Eisenhardt (1989) telah mengingatkan tentang adanya tiga asumsi sifat manusia terkait teori keagenan, yaitu:
  1. Manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest);
  2. Manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa depan (bounded rationality); dan
  3. Manusia selalu menghindari risiko (risk averse).
Mempertimbangkan 3 asumsi sifat dasar manusia tersebut, Eisenhardt mewanti-wanti bahwa manajer akan cenderung bertindak oportunis, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan menjaga komitmennya kepada prinsipal yang memberinya kepercayaan. Perilaku ini bisa memicu terjadinya konflik keagenan.
Teori yang sama juga menyebutkan bahwa, pihak manajemen umumnya memiliki kepentingan yang berbeda dengan prinsipal sehingga akan cenderung menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan tujuannya, bukan demi kepentingan prinsipal.
Nah, sebagai penengah (intermediary), hadirlan AUDITOR INDEPENDEN (biasanya berada dibawah naungan Kantor Akuntan Publik tertentu) yang bisa mengurangi potensi konflik keagenen tersebut. Melalui proses audit, auditor melakukan pemeriksaan dan memberikan opini (atestasi) atas kewajaran isi Laporan Keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan.
Dalam SAS (AU 110) Paragraf 01 dijelaskan:
“Tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat [opini] tentang kewajaran, dalam semua hal yang material terkait posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. “
Ada 5 jenis opini yang dapat diberikan oleh auditor terhadap laporan keuangan auditee, yaitu:
1. Wajar tanpa pengecualian (unqualified) – Opini ini diberikan oleh auditor apabila:
  • Audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing;
  • Penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum;
  • Tidak terdapat kondisi atau keadaan tertentu yang memerlukan bahasa penjelasan.
2. Pendapat wajar tanpa pengecualian dengan tambahan bahasa penjelasan – Opini ini diberikan oleh auditor apabila: (1) audit telah dilaksanakan atau diselesaikan sesuai dengan standar auditing; (2) penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, tetapi (3) terdapat keadaan atau kondisi tertentu yang memerlukan bahasa penjelasan. Kondisi atau keadaan yang memerlukan bahasa penjelasan tambahan bisa disebabkan oleh salahsatau atau lebih kondisi berikut ini:
  • Sebagian opini auditor didasarkan atas laporan auditor independen lain;
  • Adanya penyimpangan dari pernyataan standar akuntansi keuangan (PSAK) yang berlaku;
  • Auditor menemukan adanya suatu perubahan material dalam penggunaan prinsip dan metode akuntansi;
  • Laporan keuangan dipengaruhi oleh ketidakpastian yang material; atau
  • Auditor meragukan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern)
3. Pendapat wajar dengan pengecualian (qualified) – Opini ini diberikan apabila salahsatu atau lebih kondisi berikut ini terjadi:
  • Tidak adanya bukti kompeten yang cukup atau adanya pembatasan lingkup audit yang material tapi tidak memengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan;
  • Auditor yakin bahwa laporan keuangan berisi penyimpangan dari prinsip akuntansi yang berlaku umum yang berdampak material tetapi tidak memengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan. Penyimpangan tersebut dapat berupa pengungkapan yang tidak memadai maupun perubahan dalam prinsip akuntansi. Auditor harus menjelaskan alasan pengecualian dalam satu paragraf terpisah sebelum paragraf pendapat.
4. Pendapat tidak wajar (adverse) – Opini ini diberikan apabila auditor berpendapat bahwa laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Opini ini harus disertai penjelasan mengenai alasan pemberian opini tidak wajar.
5. Pernyataan tidak memberikan pendapat (disclaimer) – Auditor tidak memberikan pendapat apabila:
  • Ada pembatasan lingkup audit yang sangat material baik oleh klien maupun karena kondisi tertentu; dan/atau
  • Auditor tidak independen terhadap klien.
Setelah diperiksa oleh auditor independen, laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen diharapkan tidak mengandung salahsaji yang bersifat material (material misstatement) dan benar-benar mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya, sehingga pengguna laporan keuangan dapat membuat keputusan-keputusan penting dengan lebih tepat berdasarkan Laporan Keuangan Auditan (audited financial statemenets.)
Hanya saja, belakangan (setidaknya sejak skandal Enron), publik mengharapkan agar disamping menilai kewajaran isi Laporan Keuangan, melalui proses auditing, auditor juga bisa memberi semacam “peringatan dini” (early warning) kepada pengguna terkait kondisi dan peristiwa tak pasti (uncertainty) yang berpotensi risiko kerugian bagi stakeholders eksternal, yakni: investor/pemegang saham, kreditur, pemerintah/regulator.
Salahsatu kondisi dan peristiwa tak pasti itu adalah hal-hal yang bisa membuat perusahaan tidak mampu lagi menjaga kelangsungan hidupnya di masa depan, yakni aspek “kemampuan untuk going concern.”
Pindah ke paragraf berikutnya…

Peranan Auditor Dalam Memeriksa Aspek Going Concern Auditee

Di masa silam, proses audit tidak secara khusus memeriksa aspek going concern auditee. Tugas dan tanggungjawab auditor terbatas pada penilaian terhadap kewajaran penyajian Laporan Keuangan yang tentu saja disusun dengan menggunakan basis data historis (transaksi-transaksi yang telah terjadi), samasekali TIDAK menilai atau memprediksi kondisi perusahaan di masa yang akan datang, termasuk kemampuannya untuk terus going concern.
Namun publik mengharapkan agar tugas dan tanggungjawab auditor diperluas, sehingga mampu memininalkan risiko terkait kondisi dan peristiwa yang sifatnya tak pasti. Salahsatu tugas dan tanggungjawab yang diperluas itu adalah pemeriksaan terhadap kemampuan perusahaan untuk melanjutkan operasionalnya dalam jangka panjang (aspek going concern).
Atas harapan itu, untuk pertamakalinya di tahun 1978, the Commission on Auditors’ Responsibilities (CAR)—sebuah komisi khusus membahas mengenai tugas dan tanggungjawab auditor di Amerika Serikat yang anggotanya terdiri dari board of director American Institute of Certified Public Accountant (AICPA), fokus untuk merespon permintaan publik tersebut.
Hasil pembahasan itu menyimpulkan bahwa, diikutsertakannya aspek going concern dalam laporan audit justru membingungkan pengguna, menggeser tugas auditor, dan kerap menimbulkan harapan palsu di kalangan pengguna laporan keuangan. Oleh karena itu CAR merekomendasikan agar aspek going concern disertakan dalam “Catatan atas Laporan Keuangan” yang dirilis oleh pihak manajemen auditee bersamaan dengan Laporan Keuangan saja, tidak pada laporan audit yang dirilis oleh auditor.
Dan, the Auditing Standard Board (ASB)-pun mengamini rekomendasi tersebut. Namun, keputusan itu memperoleh tekanan balik yang keras dari publik. Mereka tetap meminta agar tugas dan tanggungjawab auditor diperluas, termasuk memeriksa aspek going concern.
Seiring dengan semakin banyaknya skandal laporan keuangan yang timbul pada masa-masa setelah itu, maka ASB akhirnya merilis Statement of Auditing Standard (SAS) nomor 59.
SAS 59 (AU 341.01), secara eksplisit menyatakan:
“Kelangsungan hidup entitas dipakai sebagai asumsi dalam pelaporan keuangan sepanjang tidak terbukti adanya informasi yang menunjukkan hal yang berlawanan. “
Dengan kata lain, kecuali ditemukan adanya informasi sebaliknya, maka secara otomatis asumsi going concern harus digunakan dalam menilai kewajaran Laporan Keuangan.
Lalu, seperti apa implementasinya di lapangan? Apa yang dilakukan oleh auditor untuk memastikan tidak ada “kesangsian substansial” terhadap aspek kemampuan going concern perusahaan?

Cara Auditor Pemeriksaan Aspek Going Concern

Pada umumnya, keberlanjutan operasional perusahaan terancam oleh satu keadaan saja, yaitu: adanya kondisi dan peristiwa tak pasti yang bisa membuat perusahaan menjadi tidak mampu membayar liabilitasnya—baik yang tergolong jangka pendek maupun jangka panjang.
Oleh sebab itu, SAS 59 (AU 341) memberikan petunjuk mengenai kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa yang dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk menemukan adanya “kesangsian substansial” (=keraguan besar) terhadap kemampuan going concern entitas auditee di masa yang akan datang, setidanya hingga satu tahun buku ke depan.

Ada 4 kondisi dan peristiwa yang dapat diidentifikasi dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh auditor, yaitu:

1. Kecenderungan-Kecenderungan Negatif (Negative Trends) – Misalnya: kerugian operasional yang terjadi secara berulang dari periode-ke-periode, kekurangan modal kerja yang terus terjadi, arus kas aktivitas operasional yang negatif, rasio-rasio kinerja kunci (key performance indicator) yang berskor buruk.

2. Indikasi Kesulitan Keuangan (Financial Distress) – Contoh, kegagalan dalam memenuhi kewajiban membayar utang, nunggak pembayaran dividen, penolakan dari pemasok terhadap pengajuan permintaan pembelian kredit biasa, timbulnya kebutuhan akan restrukturisasi utang, tilmbulnya kebutuhan untuk mencari sumber atau metode pendanaan baru, adanya inisiasi untuk menjual cepat sebagian aset yang dimiliki.

3. Persoalan Internal (Internal Issues) – Misalnya, pemogokan kerja atau konflik perburuhan yang lain, adanya ketergantungan yang tinggi terhadap keberhasilan suatu proyek tertentu, adanya komitmen jangka panjang yang tidak bersifat ekonomis, adanya kebutuhan untuk merombak operasional perusahaan secara signifikan.

4. Persoalan Eksternal (External Issues)– Contoh: adanya tuntutan hukum atau gugatan pengadilan yang berpotensi mengganggu kelangsungan hidup perusahaan, keluarnya undang-undang atau masalah-masalah lain yang berpotensi membatasi atau menghentikan operasional perusahaan baik sebagian maupun keseluruhan, kehilangan hak kelola-lisensi-copyright-dan-paten penting, kehilangan pelanggan atau pemasok utama, kerugian akibat bencana besar seperti gempa bumi-banjir-kekeringan-dan force majeur lainnya yang tidak diasuransikan atau diasuransikan namun dengan pertanggungan yang tidak memadai.
Nah, prosedur atau langkah-langkah seperti apa yang bisa diambil oleh auditor untuk mempertimbangkan empat kondisi dan peristiwa di atas sehingga sampai pada kesimpulan apakah MENYANGSIKAN atau TIDAK MENYANGSIKAN kemampuan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern)?

Tentu saja, auditor perlu melakukan pekerjaan ekstra di sepanjang proses audit yang 
dijalankan. Misalnya, pada saat:

1. Menjalankan Prosedur Analitis (analytical procedures) – Entah pada fase perencanaan atau pengujian substantif atau review setelahnya, auditor biasanya hanya menilai akurasi dan kewajaran penyajian. Nah, dalam upaya menemukan trend negatif seperti petunjuk SAS 59 di atas, mungkin auditor perlu melakukan trend analysis terhadap akun-akun tertentu, misalnya:
  • Apakah penjualan atau revenue perusahaan mengalami kemerosotan yang signifikan secara terus menerus
  • Apakah cost dan expense yang timbul trendnya meningkat signifikan secara terus-menerus
  • Apakah ada penumpukan nilai persediaan yang tak kunjung berubah menjadi tagihan atau kas
  • Apakah nilai bad debt terus meningkat
  • Apakah total nilai utang dagang/usaha yang mengalami overdue terus meningkat
2. Menjalankan Review Terhadap Peristiwa Setelah Tanggal Laporan (Subsquent Events Review) – Pada saat melakukan subsequent event review, auditor biasanya hanya memastikan bahwa semua transaksi bersifat material telah diikut sertakan ke dalam Laporan Keuangan Auditan (audited financial statements). Upaya ekstra yang perlu dilakukan oleh auditor untuk melihat kemungkinan adanya masalah going concern antara lain:
  • Melihat dan mencari tahu, apakah ada pelanggan besar perusahaan yang mengalami kebangkrutan, sehingga piutang overdue kemungkinan akan segera berubah menjadi kerugian piutang tak tertagih, dan yang terpenting mungkin trend penjualan akan terus menurun di masa-masa berikutnya.
  • Melihat dan mencari tahu, apakah harga jual produk/jasa perusahaan mengalami penurunan di pasaran
  • Melihat dan mencari tahu, apakah ada pemasok yang menurunkan jumlah pasokan (atau menghentikannya samasekali) menyusul penghentikan fasilitas kredit.
  • Apakah ada lembaga keuangan yang menurunkan plafond kredit atau menghentikannya samasekali.
  • Apakah ada pengambilalihan aset perusahaan oleh pihak lain.
3. Menjalankan Review Kepatuhan (Compliance Review) – Upaya ekstra lainnya adalah dengan melakukan review terhadap kepatuhan perusahaan dalam menjalankan komitment dengan kreditur, utamanya lembaga keuangan yang menyediakan kredit jangka panjang seperti bank. Auditor perlu melihat apakah perusahaan masih mampu memenuhi komitmennya sebagaimana tertuang di dalam perjanjian semula (dalam akad kredit misalnya).

4. Membaca Notulen Rapat (Minutes Reading) – Biasanya, auditor membaca minutes meeting yang diselenggarakan dalam RUPS, Dewan Direksi dan Dewan Komite, hanya untuk mencari tambahan informasi untuk memastikan akurasi dan kewajaran penyajian laporan keuangan. Upaya ekstra yang bisa dilakukan untuk menemukan adanya indikasi persoalan going concern di sini diantaranya dengan mencari informasi yang mengindikasikan:
  • Adanya rencana alokasi biaya litigasi (=penanganan sengketa) yang meningkat drastis
  • Adanya wacana untuk mencari sumber pendanaan alternative selain yang biasanya
  • Adanya wacana untuk melakukan perombakan sistim kerja operasional perusahaan secara signifikan
  • Adanya program pemangkasan cost dan expense seperti rencana PHK, penghentian operasional segment atau unit bisnis tertentu, atau pengurangan jam kerja operasional, secara besar-besaran.
  • Adanya penghentian kontrak kerja mendadak dengan tenaga expert yang selama ini digunakan dalam jangka waktu yang lama.
  • Adanya penghentian anggota manajemen puncak dan menengah.
5. Review Terhadap Permintaan Konsultasi Legal (Inquiry of Legal Counsel Review) – Upaya berikutnya yang bisa dilakukan oleh auditor dalam upaya menemukan adanya kesangsian terhadap aspek going concern adalah dengan melihat catatan koresponden dengan institusi-institusi legal seperti kantor pengacara, penasehat hokum dan notaris. Dari proses review itu, mungkin auditor bisa menemukan adanya komunikasi yang intens terkait masalah litigasi seperti adanya tuntutan hukum (pidana dan perdata) dari pihal ketiga entah itu perseorangan atau badan.
Itulah langkah-langkah yang bisa diambil oleh auditor guna menemukan adanya persitiwa dan kondisi tak pasti yang berpotensi membuat auditee tak mampu lagi mempertahankan kelangsungan hidupanya di masa depan.

Pertanyaan: Apakah upaya-upaya ekstra itu saja sudah cukup?

Jawabannya: Tergantung. Setelah melalui proses pemeriksaan, termasuk upaya-upaya ekstra yang dilakukan, auditor mungkin MENEMUKAN atau TIDAK MENEMUKAN adanya indikasi “kesangsian substansial” (substantial doubt) terhadap kemampuan going concern perusahaan:
  • Apabila TIDAK MENEMUKAN kesangsian substansial, maka auditor sudah bisa memberikan opini yang sesuai (lihat “Opini Auditor Terkait Aspek Going Concern” di bawah).
  • Apabila MENEMUKAN kesangsian substansial, maka auditor perlu menanyakan apakah perusahaan memiliki “Rencana Manajemen” untuk memitigasi peristiwa dan kondisi tak pasti tersebut. Jika TIDAK PUNYA, maka auditor sudah bisa memberikan opini ((lihat “Opini Auditor Terkait Aspek Going Concern” di bawah). Apabila sebaliknya, dimana perusahaan memiliki rencana manajemen, maka auditor perlu mengevaluasi rencana tersebut. Pindah ke paragraph berikutnya…

Mengevaluasi Rencana Manajemen Perusahaan

Dari prosedur pemeriksaan normal dan upaya ekstra yang telah dilaksanakan, apabila auditor menemukan adanya kesangsian substansial terhadap kemampuan perusahaan untuk terus “going concern,” setidaknya sampai 1 tahun buku berikutnya (IAI, 2001), maka ia belum bisa secara serta-merta memberikan opini dan masih perlu melakukan evaluasi terhadap rencana manajemen untuk memitigasi persoalan.
SAS 59 (AU 341) paragraf 03, menyatakan:
“Jika auditor yakin terdapat kesangsian besar mengenai kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu pantas, ia harus: (a) memperoleh informasi mengenai rencana manajemen untuk mengurangi dampak kondisi dan peristiwa tersebut; dan (b) mengevaluasi apakah rencana tersebut efektif dilaksanakan.”
Konkretnya, auditor perlu meminta penjelasan dari perusahaan mengenai langkah apa saja rencananya yang akan diambil.

Rencana Manajemen” mungkin variatif antara satu auditee dengan lainnya, tergantung persitiwa dan kondisi tak pasti seperti apa persisnya yang dihadapi. Namun rencana-rencana itu, umumnya, bisa diklasifikasikan menjadi 4 jenis.
Terhadap masing-masing jenis rencana manajemen yang disampaikan, auditor perlu melakukan evaluasi-evaluasi tertentu yang bisa mengarahkan pada kesimpulan apakah rencana tersebut akan mampu mengatasi persoalan secara efektif.

Berikut ini adalah 4 klasifikasi rencana manajemen yang lumrah disampaikan oleh perusahaan, dan langkah evaluasi yang bisa diambil oleh auditor:

1. Rencana Menarik (Menjual) Aset – Jika manajemen perusahaan auditee merencanakan untuk menjual sebagian asetnya, maka auditor perlu mengevaluasi hal-hal berikut ini:

a. Seberapa laku aset yang rencananya akan dijual? Untuk menjawab pertanyaan ini auditor perlu melakukan review terhadap aset yang akan dijual dan prospek pasarnya. Jika aset yang dijual berupa surat berharga yang tidak terdaftar, maka auditor perlu melakukan review terhadap dokumen-dokumen terkait dan koresponden yang sudah berlangsung terkait penjualan tersebut. Apabila aset yang dijual berupa aset tak berwujud (intangibles) seperti patent, franchise, copyrights, dan sejenisnya, maka auditor perlu melihat berapa kas yang dihasilkan oleh aset yang sama di masa lalu, berapa penawarannya saat ini dan siapa saja calon pembelinya. Jika yang akan dijual berupa aset tetap, maka auditor perlu melihat harga pasar wajarnya. Jika manajemen berencana untuk menjual piutangnya kepada pihak ketiga, maka auditor perlu melihat cadangan piutang ragu-ragu dan cadangan retur penjualan. Jika yang akan dijual berupa bagian perusahaan (segement atau unit bisnis) tertentu, maka auditor perlu melihat kinerja moneter (laporan kinerja) segment/unit bisnis tersebut.

b. Adakah pembatasan atas penjualan aset? Bisa jadi pemegang saham membatasi penjualan aset, atau bisa jadi aset tersebut telah dijadikan agunan kredit. Untuk itu auditor perlu melihat: perjanjian-perjanjian terkait kredit, perjanjian utang-piutang tertulis, dan hal-hal lain terkait dengan aset tersebut.

c. Apa dampak dari penjualan aset tersebut? Utamanya aset-aset di luar surat berharga (piutang, persediaan, aset tetap dan aset tak berwujud) seharusnya merupakan sumberdaya yang menopang operasional perusahaan. Apa dampaknya bila dijual? Dalam hal ini auditor perlu penjelasan dari perusahaan mengenai dampak apa yang mungkin timbul dan apa rencana manajemen untuk mengatasi dampak tersebut. Untuk lebih konkretnya, auditor mungkin perlu membuat PROFORMA LAPORAN KEUANGAN setelah mengeluarkan aset yang terjual dari operasional perusahaan, sehingga bisa melihat dampaknya dalam satuan moneter (rupiah).

2. Rencana Meminjam Uang atau Restrukturisasi Utang – Jika perusahaan berencana meminjam uang atau melakukan restrukturiasai utang, maka auditor perlu mengevaluasi hal-hal berikut ini:

a. Adakah sumber pembiayaan dengan utang tersedia? Aditor perlu melihat apakah sudah ada institusi keuangan yang siap memberi pinjaman, perhitungkan dampak biaya dan bunga yang akan timbul. Mungkinkah perusahaan bisa melakukan skema leaseback.

b. Apakah perusahaan memiliki agunan yang cukup? Perusahaan yang sedang mengalami kesulitan likuiditas besar kemungkinannya takkan dapat pinjaman tanpa agunan. Untuk itu auditor perlu menghitung berapa besarnya aset yang dimiliki oleh perusahaan dan bisa dijadikan agunan. Aset yang sudah dijasikan agunan otomatis tak bisa diikutsertakan. Perhitungan harus sampai pada kesimpulan “dari agunan yang dimiliki, berapa nilai rupiah pinjaman yang akan bisa diperoleh?”

c. Adakah batasan pinjaman tambahan? Pinjaman yang telah ada biasanya membuat perusahaan tidak bebas lagi mencari pinjaman tambahan. Karena ini, auditor perlu mereview perjanjian yang telah ada.

d. Adakah pengaturan yang telah ada atau telah memperoleh komitmen pasti untuk restrukturisasi utang atau perjanjian yang memungkinkan perusahaan untuk mendapat dana tambahan? Jika ada, maka auditor perlu mengevaluasi kepastian pengaturan atau komitmen tersebut. Mungkin auditor bisa meminta konfirmasi terterulis dari pihak yang menyediakan atau memberikan komitmen, seperti bank atau lembaga keuangan lainnya.

3. Rencana Mengurangi atau Menunda Pengeluaran – Sudah lumrah bahwa perusahaan yang sedang mengalami kesulitan likuiditas bisanya melakukan pengurangan atau penundaan pengeluaran-pengeluaran. Jika ada, maka auditor perlu mengetahui, pengeluaran apa saja yang rencananya akan dikurangi atau ditunda; apakah terkait reparasi dan pemeliharaan, iklan, rekayasa dan pengembangan, perluasan, upgrade atau penambahan fasilitas (bangunan/mesin/perlatan)? Yang tak kalah pentingnya, apa dampaknya bagi operasional perusahaan ke depannya. Auditor perlu meminta proyeksi atas dampak yang akan ditimbulkan dalam satuan moneter (Rupiah).

4. Rencana Menaikan Kepemilikan Ekuitas – Ketika kelangsungan operasional sedang dibawah tekanan, adalah lumrah bila perusahaan berupaya untuk menawarkan penyertaan ekuitas (modal) kepada investor. Dan fenomena yang jamak pula jika banyak investor mencari-cari perusahaan yang sedang membutuhkan tambahan modal. Dalam distress yang tinggi, perusahaan berada pada posisi tawar yang lemah, sehingga biasanya, mereka menawarkan sahamnya dengan harga berdiskon. Dalam banyak kasus, investor yang menyediakan tambahan modal mungkin berencana membawa usaha lain mereka yang kondisi keuangannya sehat untuk digabungkan (merged) dengan perusahaan auditee yang dalam kesulitan likuiditas, sehingga mereka bisa menjadikan kerugian bersih (net operating loss) yang ada sebagai kompensasi kerugian di periode berikutnya (carryforeward). Jika demikian kondisinya, auditor perlu:
  • Melakukan review terhadap rencana tersebut;
  • Mengevaluasi konsekwensi perpajakan yang akan timbul akibat dari rencana tersebut;
  • Mendiskusiakan tata cara investasi yang patut dengan pihak manajemen;
  • Mengevaluasi apakah rencana menaikkan kepemilikan ekuitas tersebut mampu mendatangkan kas yang cukup untuk mengatasi persoalan likuiditas dan modal kerja yang dibutuhkan minimal untuk satu tahu buku ke depan;
Disamping melakukan evaluasi, yang manapun diantara empat klasifikasi rencana manajemen diatas yang disampaikan oleh perusahaan, auditor WAJIB menilai “kewajaran pengungkapan” rencana tersebut!

Kewajaran pengungkapan” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bagaiman recana tersebut dapat diterjemahkan (atau dikonversikan) ke dalam SATUAN MONETER (baca: dalam angka Rupiah). Untuk itu auditor perlu meminta forecast dan budget perusahaan, minimal untuk satu tahun buku ke depan, untuk dinilai apakah rencana manajemen telah tercermin di dalamnya.
Nah, bagaimana caranya auditor mengevaluasi forecast dan budget yang disampaikan oleh perusahaan?

Mengevaluasi Forecast dan Budget Perusahaan

Seperti telah ditegaskan dalam SAS 59 (AU 341) paragraf 04:
“Auditor tidak bertanggung jawab untuk memprediksi kondisi atau peristiwa yang akan dialami oleh perusahaan auditee di masa yang akan datang.”
Sehingga, auditor TIDAK WAJIB untuk melakukan eksaminasi atau evaluasi terhadap forecast dan budget perusahaan. Pun demikian, untuk sampai pada simpulan mengenai adanya kesangsian substansial terhadap kemampuan going concern perusahaan ke depannya, auditor perlu setidak-tidaknya membaca isi forecast dan budget dari manajemen terkait tercananya untuk mengatasi persoalan.
Agar tidak masuk terlalu jauh kedalam urusan prediski-memprediksi, auditor hanya perlu mengarahkan perhatian khusus terhadap cash forecast dan cash budget perusahaan. Auditor hanya perlu tahu apakah perusahaan akan mampu beroperasi sekurang-kurangnya untuk satu tahun buku ke depan.
Konkretnya, auditor perlu melakukan minimal 2 hal berikut ini:

1. Menanyakan Asumi-asumsi yang Digunakan – Minimal, auditor perlu mempertanyakan asumsi yang digunakan dalam cash forecast dan cash budget perusahaan, yang menyangkut hal-hal pokok berikut ini:
  • Kondisi umum perekonomian makro yang akan terjadi satu tahun ke depan
  • Kondisi umum perekonomiian di bidang usaha yang dijalani oleh perusahaan
  • Kondisi pemasaran dan penjualan perusahaan
  • Biaya penjualan dan distribusi
  • Ongkos/upah buruh
  • Pengeluaran untuk bangunan, mesin dan peralatan
  • Beban umum/operasional yang akan menunjang kelancaran operasional
  • Beban bunga dan pengaturan yang mungkin timbul dari pinjaman
  • Beban/manfaat pajak
Selanjutnya, auditor bisa menilai kelogisan asumsi-asumsi yang digunakan oleh manajemen perusahaan untuk menghasilkan data-data prospektif yang tercantum di dalam forecast dan budget; Apakah masuk akal? Apakah sejalan dengan trend yang dialami oleh perusahaan di masa lalu? Apakah sejalan dengan trend yang terjadi pada tingkat ekonomi makro dan bidang usaha yang dijalankan?

2. Menilai Konsistensi Asumsi Antar Item – Forecast dan budget yang logis, mestinya menunjukkan hubungan yang konsisten antar item yang tercantum di dalam cash forecast dan cash budget. Misalnya:
  • Harus ada hubungan yang logis dan konsisten antara CASH FLOW dengan item (a) Penjualan; (b) Harga Pokok Penjualan; (b) Beban Operasional; (c) Piutang; dan (d) Utang.
  • Harus ada hubungan yang logis dan konsisten antara PENJUALAN dengan item (a) Biaya Penjualan dan Distribusi; (b) Komisi; (c) HPP; (d) Sewa; dan (e) Advertising/Iklan
  • Harus ada hubungan yang logis dan konsisten antara item-item yang ada pada Laporan Laba Rugi dengan item-item yang ada pada Laporan Posisi Keuangan, misalnya: (a) antara Penjualan dengan Piutang; (b) antara Harga Pokok Penjualan dengan Persediaan; (c) antara Harga Pokok Penjualan dengan Utang.
  • Dan seterusnya.
Sampai di sini, mestinya, auditor telah sampai pada kesimpulan apakah ada kesangsian substansial terhadap kemampuan going concern perusahaan untuk minimal satu tahun buku ke depan. Dan, mestinya juga, auditor sudah bisa menyampaikan opininya terkait aspek going concern.
Nah, dari 5 jenis opini yang sudah dipaparkan di bagian sebelumnya (lihat “Teori Keagenan dan Audit” sebelumnya), yang mana yang seharusnya disampaikan oleh auditor terkait aspek going concern?

Opini Auditor Terkait Aspek Going Concern

SAS 59 (AU 341) paragraph 10 hingga 14 telah memberi panduan yang jelas mengenai opini yang bisa diberikan oleh auditor terkait aspek going concern, sebagai berikut:
1. Apabila setelah melakukan prosedur pemeriksaan normal ditambah dengan pertimbangan terhadap berbagai kondisi atau peristiwa yang dapat dijadikan sebagai indikasi untuk menilai kemampuan going concern perusahaan ternyata TIDAK MENYANGSIKAN kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka waktu minimal satu tahun buku setelah tanggal laporan keuangan, maka auditor memberikan opini “Wajar Tanpa Pengecualian” (Unqualified).

2. Apabila sebaliknya, dimana auditor MENYANGSIKAN kemampuan going concern perusahaan setelah melakukan prosedur pemeriksaan normal ditambah dengan pertimbangan terhadap berbagai kondisi atau peristiwa yang ada, maka auditor WAJIB MENGEVALUASI RENCANA MANAJEMEN untuk mengatasi kesangsian tersebut. Selanjutnya:

a. Jika perusahaan TIDAK MEMILIKI RENCANA MANAJEMEN atau auditor berkesimpulan bahwa rencana manajemen perusahaan TIDAK DAPAT SECARA EFEKTIF MENGATASI DAMPAK kondisi dan peristiwa yang bisa membuat perusahaan mengalami kesulitan going concern, maka auditor menyatakan “Tidak Memberikan Pendapat” (Disclaimer)

b. Apabila auditor berkesimpulan bahwa RENACANA MANAJEMEN DAPAT rencana manajemen dapat secara efektif dilaksanakan maka auditor harus mempertimbangkan kecukupan pengungkapan rencana manajemen dan faktor-faktor mitigasi persoalan going concern yang timbul. Selanjutnya, lihat point c di bawah ini.

c. Apabila auditor berkesimpulan bahwa pengungkapan seperti pada point b di atas TELAH MEMADAI, maka ia memberikan opini “Wajar Tanpa Pengecualian” dengan “Paragraf Penjelasan” mengenai kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Berikut adalah contoh paragraf tambahan yang dimaksud (dikutip dari SAS 59 (AU 341) Paragraf 13):
The accompanying financial statements have been prepared assuming that the Company will continue as a going concern. As discussed in Note X to the financial statements, the Company has suffered recurring losses from operations and has a net capital deficiency that raise substantial doubt about its ability to continue as a going concern. Management’s plans in regard to these matters are also described in Note X. The financial statements do not include any adjustments that might result from the outcome of this uncertainty.”
(Terjemahan bebas: Laporan keuangan terlampir disusun dengan anggapan bahwa Perusahaan akan mampu melanjutkan kelangsungan hidupnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Catatan X atas Laporan Keuangan, Perusahaan telah menderita kerugian operasional secara berulang dan mengalami defisiensi modal bersih yang menimbulkan ketidakpastian signifikan tentang kemampuannya untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Rencana manajemen sehubungan dengan hal ini juga dijelaskan dalam Catatan X. Laporan keuangan tidak mencakup penyesuaian yang mungkin timbul akibat dari ketidakpastian ini.)
d. Jika auditor berkesimpulan bahwa pengungkapan seperti pada point b di atas TIDAK MEMADAI maka ia akan memberikan opini “Wajar Dengan Pengecualian” (qualified) atau “Tidak Wajar” (adverse.)

Pertanyaan selanjutnya: Apakah cukup hanya sampai pada pemberian opini terkait going concern?

Seiring dengan semakin maraknya skandal korporasi terkait Laporan Keuangan, maka Auditing Standard Board (ASB) telah menerbitkan SAS 96 (sebagai pelengkap SAS 59).
SAS 96 dengan tegas mengamanatkan agar, disamping memberikan opini terkait aspek going concern, auditor juga WAJIB mendokumentasikan pekerjaannya—mulai dari pengumpulan data, pengujian, evaluasi rencana manajemen, hingga tiba pada kesimpulan dan opini—terkait aspek going concern perusahaan auditee.

Untuk memperkaya, JAK ingin menyertakan hasil penelusuran terhadap berbagai penelitian terkait pemberian opini going concern oleh auditor.

Variabel-Variabel Penting Yang Berpengaruh Terhadap Opini Going Concern

Setelah melakukan penelusuran, JAK menemukan begitu banyak penelitian—baik di masa lampau maupun masa kini—yang dilakukan oleh akademisi dan expert di wilayah auditing.
Diantara banyaknya penelitian yang sempat JAK ikuti, yang paling relevan dan oleh karenanya layak dijadikan referensi pembelajaran adalah penelitian-penelitian yang mencoba menggali hubungan berbagai variable penting dengan pemberian opini going concern oleh auditor. Diantaranya:

1. Variabel Profitabilitas – Rasio-rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan cara membandingkan antara elemen Laba dalam Laporan Laba Rugi dengan elemen-elemen laporan keuangan. Semakin tinggi skor rasio profitabilitas, semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. HASIL PENELITIAN: Variabel profitabilitas berpengatuh negatif terhadap opini going concern yang diberikan oleh auditor. Artinya: semakin tinggi rasio profitabilitas semakin rendah kesangsian substansial auditor terhadap kemampuan going concern perusahaan, sehingga semakin kecil kemungkinan auditor memberikan opini “tak wajar” (adverse) atau “tidak berpendapat” (disclaimer), and vice-versa.

2. Variabel Likuiditas – Rasio likuiditas (baik current maupun quick/acid test) mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi tanggungjawab liabilitas jangka pendeknya dengan cara membandingkan nilai aset lancar dengan liabilitas jangka pendek. Semakin tingga skor rasio likuiditas, semakin bagus. HASIL PENELITIAN: Variabel likuiditas berpengaruh negatif terhadap opini going concern yang diberikan oleh auditor. Sama seperti variabel profitabilitas.

3. Veriabel Leverage (debt to asset ratio) – Rasio leverage mengukur seberapa banyak porsi aset tetap perusahaan yang diperoleh melalui pinjaman jangka panjang. Rasio diukur dengan cara membandingkan liabilitas jangka panjang dengan aset tetap. Semakin tinggi skor ini, semakin buruk. HASIL PENELITIAN: Variabel leverage berpengaruh positif terhadap opini going concern yang diberikan oleh auditor. Artinya: semakin tinggi rasio ini, semakin tinggi kesangsian substansial auditor terhadap kemampuan going concern perusahaan, sehingga semakin besar pula kemungkinan auditor memberikan opini “tak wajar” (adverse) atau “tidak berpendapat” (disclaimer), and vice-versa.

4. Variabel Arus Kas terhadap Liabilitas – Arus kas (cash flow) termasuk faktor utama yang dipertimbangkan oleh auditor dalam menilai kemampuan perusahaan untuk going concern. Rasio yang paling penting untuk digunakan adalah rasio “Cash Flow to Total Debt”—rasio yang mengukur kemampuan perusahaan menutup liabilitasnya dengan menggunakan kas yang berasal dari aktivitas operasional. Rasio ini dihitung dengan cara membandingkan “Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasional” dengan “Total Liabilitas.” Semakin tinggi skor rasio ini, semakin bagus. HASIL PENELITIAN: Variabel arus kas terhadap liabilitas berpengaruh negatif terhadap pemberian opini going concern oleh auditor. Artinya: semakin tinggi rasio ini, semakin rendah kesangsian substansial auditor terhadap kemampuan going concern perusahaan, sehingga semakin kecil pula kemungkinan auditor memberikan opini “tak wajar” (adverse) atau “tidak berpendapat” (disclaimer), and vice-versa.

5. Variabel Altman z-score/Bankruptcy Model – “Altman Z-score” atau “bankruptcy model” dipergunakan sebagai alat kontrol terukur terhadap status keuangan suatu perusahaan yang sedang mengalami “kesulitan keuangan“ (=financial distress) dan berada diambang kebangkrutan. Altman Z-score dinyatakan dalam bentuk persamaan linear yang terdiri dari 4 hingga 5 koefision “T” yang mewakili rasio-rasio keuangan tertentu, yakni “Z = 1.2T1 + 1.4T2 + 3.3T3 + 0.6T4 + 0.99T5” dimana T1 = Modal Kerja /Total Aset; T2 = Laba Ditahan/Total Aset; T3 = Laba Sebelum Bunga dan Pajak (EBIT)/Total Aset; T4 = Nilai Pasar Ekuitas/Total Nilai Buku Libilitas; dan T5 = Penjualan/Total Aset. Scoring pada model ini disebut “Zone Diskriminan” (dinyatakan dengan symbol “Z”) yang berbeda antara bidang usaha manufaktur dengan non-manufaktur. Rentang skor berkisar antara 2.9 ( Zone “Aman”) hingga 1.22 (zone “Distress”). Sehingga, semakin tinggi skor (diantara rentang ini), semakin bagus atau semakin aman dari potensi kebangkritan. HASIL PENELITIAN: Variabel Altman’s Z-Score berpengaruh negatif terhadap pemberian opini going concern oleh auditor. Artinya: Semakin tinggi score (diantara rentang score) ini semakin kecil kesangsian substansial auditor terhadap kemampuan perusahaan untuk going concern, sehingga semakin kecil pula kemungkinan auditor memberikan opini “tak wajar” (adverse) atau “tidak berpendapat” (disclaimer), and vice-versa.

6. Variabel Ukuran/Skala Perusahaan – Ukuran perusahaan dikelompokan menjadi 3 ukuran skala, yakni perusahaan berskala besar, menengah dan kecil—yang diukur berdasarkan total nilai aset atau total rata-rata omzet (penjualan bruto). Logika umumnya, semakin besar skala perusahaan semakin banyak peluang bisnis yang bisa digarap, thus mestinya, (a) semakin besar peluangnya menghasilkan laba; (b) semakin tinggi arus kas dari aktivitas operasionalnya; dan (c) semakin tinggi tingkat likuiditasnya. Pun demikian dari hasil penelusuran JAK, penelitian dengan variabel ini menunjukkan keragaman anatara yang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang listing di AS dan di Indonesia (baik JSX maupun IDX). HASIL PENELITIAN: (a) di AS cenderung konsisten menununjukkan pengaruh positif antara skala perusahaan dengan opini going concern; (b) di Indonesia cenderung tak konsisten (ada yang berpengaruh positif, tak berpengaruh, bahkan ada yang negatif). Rupanya, banyak perusahaan berskala besar di Indonesia yang didanai dengan pinjaman jangka panjang, sehingga menimbulkan biaya bunga yang tinggi pula, thus arus kas dari aktivitas operasionalnya tak cukup untuk mengembalikan utang-utangnya.

7. Variabel Opini audit Sebelumnya – Sudah merupakan sesuatu yang lumrah bahwa kecil kemungkinan auditee yang memperoleh opini WTP sebelumnya akan memperoleh opini adverse atau disclaimer di periode berikutnya. Premise ini, tentunya juga berlaku pada aspek going concern. HASIL PENELITIAN: Variabel opini audit sebelumnya berpengaruh positif terhadap opini going concern yang diberikan oleh auditor. Artinya: Jika pada sesi audit periode sebelumnya perusahaan memperoleh WTP, termasuk untuk aspek going concern, maka kemungkinan besar auditor akan memberikan opini yang tak jauh berbeda di periode berjalan. Kecuali, mungkin, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan atau perusahaan memang sudah memasuki fase titik-balik yang menurun (down turn).
Dan, masih banyak variabel lainnya, termasuk Kualitas Audit dan Reputasi KAP, Audit Report Delay/Lag, dan Auditor-Client Tenure.
Sampai di sini, JAK pikir, pembahasan topik audit terkait aspek going concern sudah lebih dari cukup. JAK sengaja sampaikan dengan panjang lebar dan serinci mungkin, dengan harapan bisa dijadikan panduan sederhana yang sifatnya praktikal. Semoga sukses selalu!





Sumber : http://jurnalakuntansikeuangan.com/2014/05/bagaimana-cara-auditor-memeriksa-aspek-going-concern-perusahaan/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Kerja Hima Akuntansi Periode 2020-2021

Ingat, Berikut Ancaman Sanksi Bila Tidak Lapor SPT Tahunan

RANGKUMAN MATERI LKTD KELOMPOK 5